Oleh Chudori Sukra Penulis Pengasuh Ponpes Riyadlul Fikar, Jawilan, Serang Dulu ketika saya belajar Alquran mengaji pada seorang ustadz di kampung, saya mengenal nama-nama surat yang berbeda dengan teks-teks Alquran, misalnya surat al-Ikhlas diberi nama surat Qulhu, surat al-Alaq diberi nama surat Iqra, surat al-Kafirun diberi nama surat Qulya, dan seterusnya. Saya belajar ngaji bersama teman-teman yang memiliki nama-nama unik, seperti Topa, Duloh, Acim, Pengki, Sangsang dan beberapa teman lainnya. Baru belakangan saya tahu bahwa Topa, Duloh dan Acim itu, asal katanya adalah Mustofa, Abdullah dan Hasyim. Sedangkan nama Pengki dan Sangsang, konon sering sakit-sakitan di masa balita, sehingga nama aslinya diganti oleh orang tua mereka, yang semula Dulmajit asal katanya Abdul Majid dan Duki asal katanya Masduki. Guru ngaji kami memiliki Alquran dengan kertas kuning yang sudah lusuh, bertulisan kaligrafi Arab yang besar-besar, tanpa terjemahan. Tiap habis magrib saya belajar ngaji bersama teman-teman, membaca satu ayat ke ayat lain tanpa pernah diberitahu apa maknanya dan apa penafsirannya. Kami hanya diajarkan syarat minimal bahwa anak seusia kami harus sudah bisa membaca Alquran tentang makharijul huruf, meski saya sebagai anak berdarah campuran Sunda dan Jawa Banten agak sulit mengeja huruf fa’ ketimbang pa’, serta kesulitan membedakan huruf dal besar, dal kecil, dza, dlad dan seterusnya. Yang penting – bagi orang tua saya – syarat minimal itu sudah bisa dikuasai oleh anak-anak usia tujuh tahun, seperti bisa membaca lafadz Alquran, menghafal bacaan solat, serta belajar berpuasa di bulan Ramadan. Tapi, meskipun sudah bisa solat dan puasa, kami pun harus jujur mengakui bahwa kategori “Islam kaffah” masih menjadi pertanyaan dan teka-teki yang menyelimuti benak saya hingga usia remaja dan dewasa. Pasalnya, ketergantungan masyarakat yang tetap bertahan selama puluhan tahun untuk menyembuhkan anaknya yang sakit, dengan mendatangi seorang dukun orang pintar, juga mempercayai kepastian nasibnya di masa depan, pada sang dukun tersebut. Sementara itu, para orang tua juga masih suka menempel mantra-mantra sakti di depan pintu sebagai penolak bala pengusir setan dalam bahasa antah barantah, bercampur Arab, Jawa kawi dan Sunda. Selebaran kecil itu dibeli dari orang pintar yang memiliki pamor tersendiri di kampung kami. Dan para orang tua mempercayainya begitu saja, sebab tanpa orang pintar tersebut seakan-akan kampung kami akan kehilangan pamor sama sekali. Ketika kami duduk di bangku tsanawiyah setingkat SMP, dan mulai mengenal bahasa Arab, kami semakin memahami betapa lucunya para orang tua kami memberi nama anak-anaknya selama ini, baik di kampung kami maupun di perkampungan lainnya di Banten ini. Coba bayangkan nama-nama berikut ini Teh Ipah asal katanya Syarifah’, Mang Mamat asal katanya Muhammad’, Bi Encop asal katanya Sofiyah’, Bang Udin asal katanya Bahrudin’. Lebih ironis lagi, tukang gorengan keliling bernama Teh Hawiyah, juga tukang parkir di prapatan yang dipanggil Mang Dolim. Kenapa orang tua mereka tidak paham bahwa kedua nama terakhir itu berkonotasi negatif, sebab mengandung arti orang jahat’ dan ahli neraka’. Penyebab dari semua itu adalah pemahaman agama yang bersifat tekstual yang menjadi anutan mereka. Pada masa itu kami sebagai anak-anak yang beranjak dewasa semakin menyadari cara keberagamaan orang tua kami yang hilir-mudik dan campur aduk. Nama-nama yang dicomot dari kebudayaan lisan, tanpa sikap kritis atau gugatan apapun dari masyarakat kami. Nama-nama yang sepertinya dipungut secara spontan karena alusi bunyi kepada kata tertentu yang seakan menarik untuk didengar. Meski di kemudian hari, saya memahami bahwa ajaran agama mementingkan nama-nama baik yang mengandung unsur motivasi, harapan dan cita-cita luhur bagi sang pemilik nama tersebut. Di samping pemahaman yang bersifat tekstual, problem lainnya karena para orang tua kami tidak memahami bahasa Arab dengan baik. Kami sebagai generasi yang mewarisi peradaban mereka, meskipun diajarkan mengaji setiap habis magrib, tapi tak pernah dibimbing dan diarahkan untuk memahami bahasa Arab dengan baik, terlebih memahami kalimat demi kalimat dari teks-teks Alquran yang kami bacakan. Saya sendiri telah belajar ngaji selama puluhan tahun, bahkan seperti umumnya teman-teman sepantaran, kami sudah hafal surat-surat dalam Juz Amma yang sering dibacakan imam setiap solat berjamaah. Tapi kami tak pernah tahu maknanya. Hingga kemudian kami tak perlu merasa heran mengapa ada warga kampung kami yang memiliki nama Dolim’ atau Hawiyah’, dan sampai detik ini mereka tetap menyandang nama tersebut, juga merasa tak perlu untuk menggantinya. Ketika tren budaya Barat Amerika merambah negeri ini sejak tahun 1980-an, kemudian disiarkan secara sentral melalui layar televisi swasta sejak tahun 1990-an, karuan saja para orang yang berpandangan kolot dan ortodoks itu, mudah terpengaruh oleh peradaban baru yang dianggap maju dan modern. Mereka seakan memilih alternatif lain dari jenis peradaban antah barantah yang bersifat tekstual dan tanpa makna itu. Jadilah nama-nama baru bermunculan, misalnya Poppy Ratnasari, Tubagus Heri Setiawan, Edi Sofyadi, Ratu Novia Rista, Laura Irawaty, Divani Aisyahara, Ajip Toni Rosidi dan seterusnya. Peradaban baru yang muncul itu dikunyah mentah-mentah tanpa sikap kritis dari generasi orang tua kami. Peradaban modern yang kelak disebut liberalisme dunia bebas itu telah menjadi anutan anak-cucu mereka. Semula mereka menganggap bahwa peradaban baru itu adalah jalan alternatif yang menjanjikan masa depan kami. Namun kemudian, mereka menyadari bahwa peradaban itu bukan sesuatu yang bergerak secara alamiah, tetapi merupakan bagian dari grand scenario perang dingin untuk mempertahankan kekuasaan kapitalistik dari negeri-negeri industri maju. Lalu, sampailah kepada suatu kesadaran baru tentang siapakah yang diuntungkan dari maraknya sistem kapitalisme liberal di masa Orde Baru, di saat para orang tua membebaskan anak-anak mereka untuk menganut sistem tersebut? Faktanya, 32 tahun kekuasaan Orde Baru dengan gradasi macam-macam dalam posisi kaum konservatif dan status-quo, selalu saja bertahan dengan memanfaatkan ketidakadilan sebagai motor penggeraknya, di mana rakyat Banten yang tertinggal, selalu menjadi korban landasannya. Belum lagi problem kemiskinan global yang bergantung pada konvergensi yang bergerak antara raksasa kapital kekuasaan bisnis besar, dunia pengusaha politik dan birokrasinya. Terutama seluruh komplek industri militer yang berkongsi dengan para pakar sains dan teknologi, serta segala perangkat laskar-laskar pelayanan yang diperlukan. Di awal abad 21 ini dunia iptek sudah menjadi raksasa-raksasa yang kecenderungannya berjalan dengan kedaulatan dan hukum-hukum raksasa itu sendiri. Pada akhirnya, prediksi kebudayaan yang dilontarkan bapak bangsa Soekarno menunjukkan pembuktiannya, bahwa kehormatan dan martabat manusia yang hidup di dunia ketiga negeri miskin cenderung didikte oleh dunia industri dan bisnis, dengan segala perangkat iptek di belakangnya. Terlebih dunia iptek yang mengabdi pada industri perang dan militer, sangat memperkuat dugaan, yang berkembang menjadi tuduhan, bahwa dalam praktiknya, iptek tidaklah netral akan tetapi lebih mengabdi kepada para pengusaha ekonomi, politik, sosial dan kultural. Setelah sekian puluh tahun, saya semakin memahami bahwa para sahabat kami sesama kelahiran Banten, seperti Topa, Duloh, Acim, Pengki, Sangsang, Ipah, Encop, Mamat, Udin dan seterusnya, tak lain merupakan corak dari masyarakat marjinal, lebih tepatnya mereka telah dimarjinalkan oleh sistem dan keadaan. Kini yang diperlukan oleh masyarakat Banten adalah semangat dan rasa percaya diri, bahwa apapun dampak positif dan negatifnya, sebagai umat beriman dan beragama, kita perlu memanfaatkan perangkat iptek tersebut demi untuk kebaikan dan kemaslahatan umat. Adapun perkara rizki bagi orang-orang bertaqwa, percayalah, bahwa Allah Yang Maha Kaya pasti menjamin pemenuhan rizki bagi setiap hamba-hamba-Nya, baik yang bersumber dari darat, laut maupun udara. Insya Allah… *
Bacajuga: Ada Sumur Multikhasiat di Banten, Konon Sering Dikunjungi Pejabat. Kemudian ada sumur yang disebut Sumur Kejayaan. Sesuai namanya, banyak orang yang datang katanya mencari kejayaan
Afternoon Aspen Grove Painting Gary Kim $27 Orange Grove of Citrus Fruit Trees Painting Jane Small $22 Evening Shadows on a Round Taos House Painting Art West $54 SUNFLOWERS AND LAVENDER FIELD - THE COLORS OF PROVENCE Modern Impressionist Palette Knife Painting Painting Mona Edulesco $23 Yellow Orange Blue Watercolor Square Design 3 Painting Sharon Freeman $18 Still life with champagne bottle and glass Painting Mona Edulesco $23 Rainbow of Fruit Flavors Painting Ryan Fox $37 Firestorm Painting Oni H $22 Summer Picnic- colorful abstract art Painting Linda Woods $22 Orange Heart- abstract painting Painting Linda Woods $22 Somewhere New- Abstract Art by Linda Woods Painting Linda Woods $22
PeletOrang Banten. Assalamualaikum wr.wb. Perkenalkan, aku adalah seorang suami yang saat kisah ini terjadi, tepat berusia 30 tahun. Aku berasal dari Jawa tengah, tepatnya disebuah desa kecil yang dikelilingi oleh perbukitan, yang masih termasuk kedalam wilayah kabupaten Purbalingga. Aku, bekerja disebuah BUMN sebagai tenaga kerja outsourcing
1 Add Patterned DecorCourtesy of Dering HallIn this earthy, neutral-toned living room, autumnal orange striped chairs elevate the space without feeling out of place. Design by Taylor & - Continue Reading BelowAdvertisement - Continue Reading Below3 Upholster Chairs in a fun printCourtesy of Dering HallAn easy way to weave orange into your home is through pieces that can easily be moved around for an instant pop of color. In this Fifth Avenue dining room, orange chairs complement the green glazed walls. Design by Brockschmidt & Coleman, - Continue Reading BelowAdvertisement - Continue Reading BelowAdvertisement - Continue Reading BelowAdvertisement - Continue Reading Below7 Extend the color to the ceilingDouglas FriedmanIn designer Ken Fulk's Cape Cod library, the walls and ceiling are painted in Benjamin Moore's Dash of Curry. The warm, saturated orange contrasts with the blues of the room and the view of the ocean, while its extension to the ceiling is a chic, understated - Continue Reading BelowAdvertisement - Continue Reading BelowAdvertisement - Continue Reading BelowAdvertisement - Continue Reading Below11 Incorporate rich, textured accentsWilliam WaldronIn Antonello Radi's 16th-century Umbrian home, a vintage vibe was achieved through burnt orange walls and ornate decor. Velvet chairs and antique mirrors and portraits create an understated glamour that complements the 19th-century - Continue Reading BelowAdvertisement - Continue Reading Below13 Warm the space with woodCourtesy of Dering HallWooden accents create a sultry vibe in this oceanfront apartment, while the dim, warm lighting adds coziness to the ultra-modern space. Design by Michael Wolk - Continue Reading BelowAdvertisement - Continue Reading BelowAdvertisement - Continue Reading BelowAdvertisement - Continue Reading Below17 Let the hearth inspire your spaceThe glow of the fire in this cozy living space is complemented with peachy orange furniture and deep yellow walls, while natural light subtly brightens the - Continue Reading BelowAdvertisement - Continue Reading Below19 Soften up with textured wallsCourtesy of Dering HallThe carrot-colored wallpaper in this children's room has a delicate texture, making the bold color appear softer and more - Continue Reading BelowAssistant EditorLucia Tonelli is an Assistant Editor at Town & Country, where she writes about the royal family, culture, real estate, design, and more.
r8Pk.